Laut Bercerita, Reformasi, dan Masa Kini. Ini tentang cerita dalam sebuah novel berjudul Laut Bercerita, karya Leila S. Chudori. |
Matilah Eengkau mati,
Engkau akan lahir berkali-kali.
Ada yang tau itu kutipan puisi dari novel apa? Yap, Laut Bercerita.
Sekitar dua-tiga bulan yang lalu, salah satu teman merekomendasikan novel karya Leila S. Chudori yang berjudul "Laut Bercerita," tapi baru Jeda baca tanggal 10 Oktober kemarin, karena entah gimana, buku itu nggak berhenti berseliweran di salah satu base twitter.
Ulasan Laut Bercerita
Ketidaktahuan dan ketidakpastian lebih membunuh daripada pembunuhan
Itu adalah salah satu kutipan dalam buku "Laut Bercerita" yang mungkin bisa langsung menghubungkan perasaan kita dengan perasaan mereka yang kehilangan keluarganya pada 1998, namun tidak kunjung mendapat kepastian tentang status dan kondisinya hingga saat ini.
Meskipun demikian, dilansir dari laman Kompas menurut Laila, cerita dalam novelnya adalah fiktif walau memang beberapa dialog diambil dari dialog para aktivis pra-reformasi, dan tokoh dalam novelnya bukanlah karakter fiktif yang mencerminkan satu orang nyata, melainkan gabungan dari tiga-empat tokoh asli yang dileburkan dalam satu tokoh fiktif.
Sang penyair misalnya, tokoh tersebut adalah peleburan dari Wiji Thukul (salah satu penyair yang hingga saat ini hilang), Soetarji C. Bachri, dan W. S. Rendra.
Menurut Jeda, novel ini mampu menggambarkan dan membawa kita pada situasi pra-reformasi, terlebih, mungkin, untuk beberapa orang, novel ini juga mampu mendorong rasa ingin tahu mengenai sejarah.
Ada satu kalimat dari Bram dalam novel tersebut mengenai sejarah, bahwa titel pahlawan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh pandangan rezim terhadap sosok tersebut, sehingga sangat perlu untuk membaca alternatif sejarah, sehingga dapat melihat dari sudut pandang lain yang lebih jelas.
Laut Bercerita, Reformasi, dan Masa Kini
Para polisi bentrok dalam unjuk rasa 25 September 2019. (Foto Antara/Indrianto Eko Suwarso via Reuters) |
Saat tulisan ini dibuat, pada tanggal 9-10 Oktober 2020, unjuk rasa terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia untuk menolak RUU Sapu Jagat atau yang dikenal dengan sebutan Omnibus Law, terutama mengenai cipta kerja. Ini adalah unjuk rasa terbesar kedua selama tiga tahun terakhir.
Hal yang menarik adalah, tak hanya saat reformasi tapi bagaimana hingga saat ini aparat selalu beritindak represif dalam menghadapi warga sipil yang berdemo, padahal kegiatan berdemo itu untuk menyampaikan aspirasi dilindungi oleh UUD 1945.
Banyak video bertebaran mengenai bagaimana para demonstran yang merupakan warga sipil, tanpa safety gear dan tanpa membawa senjata, dipukuli dan diinjak-injak oleh oknum aparat, tidak hanya satu tapi sekelompok oknum aparat. Gas-gas air mata ditembakkan ke tempat-tempat terlarang seperti sekolah, kampus, dan rumah ibadah. Tenaga medis tak luput dari tindakan represif tersebut. Warga yang sedang lewat tak jarang menjadi sasaran. Demonstran yang tertangkap, tak jarang pula ditahan dalam kondisi luka dan tanpa diperbolehkan didampingi pengacara. Ibu-ibu frustasi, rakyat frustasi, kepercayaan sedikit demi sedikit pudar, semoga tak hilang.
Sepanjang 2019-2020, Komisi Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (Kontras) menemukan 921 kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh polisi.
Yang menjadi ironi adalah, bukannya memberi sanksi pada oknum terlibat, justru orang yang merekam dan menyebar video dicari dengan dalih melanggar UU ITE.
Dilansir dari laman The Conversation dalam Mengapa polisi cenderung menggunakan tindakan represif untuk menyelesaikan masalah?, sejak tahun 2002 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sudah berubah menjadi institusi sipil, sehingga pemolisian sipil tidak populer dan hingga kini Polri sulit untuk keluar dari pengaruh angkatan senjata yang telah menaunginya selama puluhan tahun.
Saat dilakukan survey pada lebih dari 300 siswa tahun ketiga di Akademi Kepolisian di Semarang, lebih dari 70% taruna memilih penempatan reserse kriminal, diikuti penugasan lalu lintas, intelejen, dan terakhir samapta. Samapta atau sabhara adalah penugasan mengenai pengendalian massa. Selain itu, tidak ada taruna yang memilih tugas pembinaan masyarakat.
Menurut The Conversation, hal ini menjadi indikator bahwa kepolisian masih lekat dengan penanganan pendekatan keamanan, bukan pemolisian sipil dan masyarakat. Kekerasan memang merupakan pilihan murah dan mudah untuk menangani masalah sosial, karenanya, tugas "amankan" seringkali diterjemahkan sebagai perintah untuk melakukan tindak represif demi mencapai keamanan sosial.
Padahal, untuk mencapai masyarakat yang lebih demokratis, Polisi seharusnya menggunakan pendekatan pemolisian sipil, misalnya dengan melakukan kolaborasi dan kemitraan dengan masyarakat, melakukan diskusi dan berkomunikasi aktif dengan para demonstran dan mahasiswa untuk menghindari terjadinya kekerasan di lapangan. Hal ini bukan hanya harus dilakukan oleh Samapta dan Bimas, tetapi juga oleh bagian lain seperti Intelejen, Reserse, dan lalu lintas.
0 komentar
semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"