Pict credit to detik.com |
"There is no greater agony than bearing an untold story inside you."
—Maya Angelou, I Know Why the Caged Bird Sings
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah luka sosial yang menyakitkan dan menghancurkan jiwa ribuan perempuan di Indonesia. Setiap hari, kita dihadapkan pada cerita-cerita kelam yang sering kali tersembunyi di balik pintu-pintu tertutup, dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman. Data terbaru dari SIMFONI-PPA mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024 saja, tercatat 16.392 kasus kekerasan, dengan 14.241 korban di antaranya adalah perempuan, sementara 3.504 lainnya adalah laki-laki. Angka-angka ini bukan sekadar angka statistik; mereka adalah kerabat, tetangga, bahkan mungkin saudara kita.
"Di balik setiap angka, ada cerita menyedihkan tentang penderitaan yang tidak terbayangkan, harapan yang terhapus, dan masa depan yang dipaksa menyerah pada kekerasan yang brutal."
Kasus kekerasan dalam rumah tangga ini adalah puncak dari gunung es masalah yang lebih besar dan sistemik. Ironisnya, meskipun Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), pelaksanaannya masih jauh dari kata sempurna. Dari lebih dari 19 ribu pengaduan yang diterima sepanjang tahun 2024, baru 11 ribu yang mendapatkan layanan lanjutan. Hal ini mencerminkan betapa rapuhnya sistem perlindungan yang seharusnya melindungi korban yang paling rentan, khususnya perempuan.
Perempuan dalam Belenggu Kekerasan Domestik
Perempuan, yang telah lama menjadi target utama kekerasan dalam rumah tangga, terus menghadapi ancaman yang beragam, baik secara fisik, emosional, maupun finansial. Sebuah contoh nyata yang menonjol adalah cerita seorang anak penjaga kos yang menyaksikan kekerasan antara orang tuanya. Sang ibu, yang telah lama menjadi korban kekerasan suaminya, akhirnya meledak setelah bertahun-tahun diperlakukan secara tidak manusiawi. Ketika sang anak berusaha mencari bantuan melalui telepon, dia menghadapi kenyataan pahit bahwa ditengah desakan ekonomi, jarak dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) jauh dari rumah dan membuatnya ragu untuk melanjutkan pelaporan. Biaya yang besar untuk mencapai dinas dan ketidakpastian tentang mekanisme pelayanan yang akan diterimanya semakin menambah beban dan kebingungan.
Cerita ini bukanlah insiden terisolasi, melainkan cerminan dari betapa seringnya korban KDRT merasa tidak berdaya dan sendirian dalam perjuangan mereka. Sistem yang seharusnya hadir untuk melindungi mereka justru sering kali terasa jauh dan tidak dapat dijangkau. Dalam banyak kasus, korban bahkan tidak melaporkan kekerasan yang mereka alami karena takut, malu, atau ketidakpastian tentang proses hukum yang harus mereka jalani. Mereka terperangkap dalam siklus ketakutan dan kebingungan, merasa bahwa tidak ada jalan keluar dari situasi yang menghancurkan ini.
KDRT bukanlah masalah privat yang dapat diselesaikan dalam lingkup rumah tangga saja. Ini adalah persoalan sosial yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata dari semua pihak, mulai dari pemerintah hingga masyarakat luas. Sebuah studi oleh International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa peningkatan 1% dalam proporsi perempuan yang mengalami KDRT dapat menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi sebesar 8%. Penurunan ini disebabkan oleh menurunnya partisipasi kerja perempuan, yang pada akhirnya mengurangi produktivitas dan pendapatan negara. Dalam konteks Indonesia, dampak ekonomi dari KDRT ini tidak bisa diabaikan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan cenderung mengalami penurunan produktivitas, ketidakstabilan emosional, dan kesulitan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, yang semuanya berkontribusi pada menurunnya kontribusi mereka terhadap ekonomi nasional.
KDRT Bukan Aib melainkan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Kekerasan dalam rumah tangga juga menciptakan trauma yang mendalam dan berkepanjangan bagi korban. Trauma ini tidak hanya merusak kemampuan korban untuk menjalani kehidupan yang sehat dan produktif, tetapi juga dapat berdampak pada generasi berikutnya. Penelitian menunjukkan bahwa trauma akibat KDRT dapat mengubah DNA seseorang melalui proses yang dikenal sebagai epigenetik. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan dapat mengalami perubahan pada gen yang memengaruhi kesehatan mental dan emosional mereka. Trauma ini tidak berhenti pada satu generasi saja, tetapi dapat diwariskan ke generasi berikutnya, menciptakan siklus kekerasan yang sulit diputus. Dalam banyak kasus, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga cenderung menginternalisasi perilaku tersebut, baik sebagai pelaku maupun korban di masa depan.
Dalam budaya Indonesia, kekerasan dalam rumah tangga sering kali dianggap sebagai masalah pribadi yang harus diselesaikan dalam lingkup keluarga. Namun, pandangan ini harus diubah. KDRT bukanlah masalah pribadi, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan intervensi dari masyarakat dan pemerintah. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) yang bertugas menangani kasus KDRT sering kali tidak memiliki sistem yang proaktif untuk menjangkau korban. Pendekatan "jemput bola" yang melibatkan pemerintah dalam mendatangi dan membantu korban di tempat kejadian seharusnya menjadi prioritas. Ini akan membantu mengurangi rasa takut dan ragu yang sering kali menghalangi korban untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami.
Solidaritas sosial dan gotong royong adalah kunci untuk melawan kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat harus didorong untuk tidak tinggal diam ketika mengetahui adanya kekerasan di sekitarnya. Lingkungan yang suportif dan tidak menghakimi bisa memberikan keberanian bagi korban untuk melaporkan kekerasan yang mereka alami dan mencari bantuan. Namun, semua upaya ini tidak akan berhasil tanpa komitmen yang kuat dari pemerintah dan semua pihak terkait. Pemerintah harus menunjukkan keberpihakannya pada korban KDRT melalui kebijakan yang konkret dan tindakan yang nyata. Anggaran yang memadai harus dialokasikan untuk program-program pencegahan dan penanganan KDRT, serta untuk mendukung institusi-institusi yang bekerja di bidang ini.
Sejarah panjang kekerasan dalam rumah tangga menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap masalah ini. Dari zaman Romawi Kuno hingga masa kini, perempuan telah lama menjadi korban dari sistem patriarki yang melegitimasi kekerasan domestik. Di berbagai budaya, kekerasan dalam rumah tangga telah dianggap sebagai bagian dari hak suami dalam mengatur rumah tangganya. Konsep ini terus berkembang dan menyebar ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Namun, kita tidak boleh lagi membiarkan kekerasan ini berlanjut. KDRT bukan hanya isu individu, tetapi masalah sosial yang membutuhkan tindakan nyata dari pemerintah, masyarakat, dan individu.
Sudah saatnya kita membebaskan diri dari rasa sakit yang tak terkatakan dan berdiri bersama melawan kekerasan yang telah merusak begitu banyak kehidupan. Dengan komitmen bersama, kita bisa memberikan perlindungan yang layak bagi korban KDRT, memberikan harapan baru bagi mereka yang terperangkap dalam kekerasan, dan menciptakan masa depan yang lebih aman dan adil bagi semua orang.