REVIEW FILM HARMONY (2010) DAN RELEVANSINYA TERHADAP KASUS KEKERASAN SEKSUAL SAAT INI

Review film harmony (2010) dan relevansinya terhadap kasus kekerasan seksual saat ini
Review film harmonu (2010) dan relevansinya terhadap kasus kekerasan seksual saat ini. 

Hai, ketemu lagi. Setelah membuat tulisan soal strawberry bukanlah berry, sekarang Jeda mau nulis yang agak serius. Kita review film harmony (2010) dan relevansinya terhadap kasus kekerasan seksual saat ini ya.. 

Kemarin Jeda nonton film korea yang berjudul Harmoni (2010). Harmoni bercerita tentang kehidupan di dalam penjara perempuan, bagaimana mereka bisa masuk ke dalam penjara dan cara mereka hidup dan bertahan di dalam sana. 

Durasi filmnya sekitar 1:47 menit dan Jeda nangis selama kurang lebih tiga jam. Alasan yang bikin Jeda termewek-mewek adalah karakter Hong Jeong-Hye yang harus dipenjara selama 10 tahun karena membunuh suaminya.

Saat itu, setelah ditendang berkali-kali pada bagian perut, Ia hendak dipukul menggunakan tongkat baseball dengan kondisi sedang hamil tua oleh suaminya, lalu dia melakukan perlawanan hingga akhirnya suaminya terbunuh. Pada saat menyiksa Jeong-Hye, suaminya berkali-kali mengatakan, "Kau anak yatim yang telah ku selamatkan, kenapa kau tidak mengangkat telfonku? Kau tidak mengangkat telfon agar Kau bisa tidur dengan orang lain saat hamil?", padahal Jeong-Hye sibuk melakukan pekerjaan rumah. 

Pembuat scriptnya perlu diapresiasi karena melakukan riset dengan baik. Script ini memberi gambaran lengkap bahwa memang orang yang abusive cenderung memanipulasi. Membuat kita berpikir seolah-olah dialah yang menyelamatkan kita padahal dia adalah orang yang menyiksa kita juga, yang artinya pelaku secara tidak masuk akal berkali-kali meng-klaim telah menyelamatkan kita dari dirinya sendiri, melakukan shifting blaming, hingga gaslighting. 

Orang dalam kondisi normalpun ketika dihadapkan dengan argumen-argumen yang bersifat logical fallacy sering kegocek, apalagi bagi orang yang terjebak dalam abusive relationship, dia akan kesulitan untuk menilai kondisinya karena alasan diatas, perasaan dan pikirannya terus menerus dimanipulasi. 

Saat ditangkap, Jeong-Hye menolak untuk mengatakan kejadian yang dialaminya dan berakhir dengan hukuman 10 tahun penjara. Dia melahirkan dan membesarkan anaknya di penjara, hingga akhirnya saat si anak sudah berumur 2 tahun, dia harus melepas anaknya untuk diadopsi berdasar hukum yang berlaku. Ini nontonnya aja sakit hati banget.

Satu tokoh lain yang membuat hati remuk adalah kisah Kang Ye Won, seorang siswi yang berkali-kali mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya. Saat ayah tirinya mencoba lagi  melecehkan Ye Won, dia akhirnya tidak tahan, melawan, yang berakhir membuat ayah tirinya terbunuh.

Yang bikin sesak adalah, saat peristiwa itu terjadi, Ibunya justru menyalahkan Ye Won yang telah membunuh ayahnya. Hal ini membuat Ye Won tidak menerima kunjungan Ibunya saat dipenjara. 

Meskipun begitu, Ibunya menyesal karena telah memperlakukan Ye Won dengan buruk saat peristiwa itu terjadi. Sakit hati banget sampai sekarang. 

Walaupun akhirnya mereka bisa melewati segala cobaan dengan membentuk grup paduan suara di penjara dan tampil di depan Presiden.


Victim Blaming pada Korban Kekerasan Seksual

People may not realized the damage that they are doing by placing the blame on the victim- - but that doesn't lessen the damage they cause by doing it. - Darlene Oimet


Film ini dibuat dari 2010 lalu dan masih sangat relevan dengan kondisi saat ini. Nggak ada kemajuan berarti soal penanganan kasus kekerasan seksual terutama di Indonesia. 

Korban yang berani menyampaikan kondisinya berjuang keras melawan stigma. Diam-diam menyembunyikan rasa takut bahwa hukum akan balik melawannya. Banyak juga yang tidak berani untuk bersuara. Hanya diam menyimpan luka. Hidup dibawah tekanan dan ancaman. Menangis, merasa dirinya tak lagi berarti. 

Sering sekali kita melihat ada penyintas kekerasan seksual yang mencoba speak up, tapi justru yang lebih sering ditemui adalah respon, "Kok bodoh? kok nggak lapor? kok nggak kabur?" dan berbagai pertanyaan menyakitkan lainnya terhadap penyintas atau parahnya lagi, "ah paling keenakan tuh".

Pernah nggak bertanya-tanya, "Kok ada manusia abusive? kok bisa ya ada orang melakukan hal keji ke pasangannya?". Yap, victim blaming pada kasus kekerasan seksual itu lumrah. 

Pernah nggak kita berpikir untuk tanya ke orang yang jadi korban tabrak lari, "Kok kamu nggak menghindar? Kamu kok bodoh bisa jadi korban tabrak lari?."

Kalau kita bertemu korban tabrak lari, pasti yang pertama dilakukan adalah memberikan pertolongan pertama, bertanya bagaimana kondisinya jika memungkinkan, lalu segera bantu untuk cari pertolongan. Tapi kenapa nggak bisa melakukan hal seperti itu ke korban kekerasan/pelecehan seksual? Aneh ya, padahal sama-sama terkena musibah. 


Film Harmony (2010) Dan Relevansinya Terhadap Kasus Kekerasan Seksual Saat Ini

Silence against cruelty is the biggest crime in the world, and we do. - Junaid Raza


Menurut Jakartapost, setiap hari, lebih dari 35 orang perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Menurut situs Asumsi.co yang didapat dari wawancara dengan LBH APIK (sebuah LBH yang khusus menangani kasus kekerasan seksual), sekitar 80% korban kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya. Sebanyak 20% khawatir akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, 13% merasa polisi tidak akan membantu mereka, dan 8% yang merasa kasus perkosaan yang mereka alami tidak cukup penting untuk dilaporkan. Sedangkan dari data kepolisian, hanya 2% pelaku kekerasan seksual yang berakhir dipenjara. 

Di Indonesia, saat ada kasus kekerasan seksual, yang dieksploitasi justru identitas pribadi korban dan bukan pelaku. Sudah jadi korban kekerasan seksual, diberi stigma buruk oleh masyarakat dan bahkan keluarga, diancam oleh pelaku, kalau kasusnya terhembus, dieksploitasi pula sama media contohnya disini: https://www.tribunnews.com/metropolitan/2021/05/15/maling-bobol-sebuah-rumah-di-bekasi-penghuninya-diperkosa-saat-sedang-main-tik-tok. 

Masih dengan kelebihan Indonesia, yap, di Indonesia belum ada tonggak hukum yang berorientasi melindungi korban atau penyintas kekerasan seksual. Pasal 285 KUHP membahas soal definisi perkosaan, tapi belum membahas soal marital rape, juga nggak membahas mengenai korban laki-laki. Padahal pelaku dan korban kekerasan seksual nggak terikat gender, bisa laki-laki atau perempuan. Selain itu disana juga nggak membahas soal manipulasi pada kasus pelecehan dan kekerasan seksual. 

Belum lagi, saat lapor biasanya polisi akan meminta saksi dan alat bukti, padahal perkosaan biasanya terjadi dibelakang pintu. Di rumah-rumah, di kamar-kamar, di tempat yang biasanya tidak ada orang yang tahu atau saat melapor berakhir dengan proses mediasi, atau saran untuk menikahkan korban dengan pelaku. Coba bayangkan, kalau kita kedatangan maling, bukannya ditangkap malah disuruh menikah dengan malingnya? contohnya pada kasus perkosaan dan penjualan manusia oleh seorang Anak  Anggota DPRD bekasi.  

Ditambah menurut data Komnas Perempuan, biasanya korban balik dikriminalisasi baik dengan UU PKDRT, UU perlindungan anak, atau yang paling sering adalah UU pornografi, UU ITE, bahkan UU pencemaran nama baik. 

Contohnya pada kasus pelecehan seksual oleh Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram, berinisial M pada 2018 lalu, korban justru dikriminalisasi oleh M atas tuduhan melanggar UU ITE. Contoh lain adalah kasus eksploitasi yang dilakukan oleh Eki (kasus video sur garut) terhadap istrinya. Kasus ini bahkan lebih pelik, eksploitasi perempuan untuk memenuhi hasrat seksual dan kebutuhan ekonomi pada kondisi dalam hubungan pernikahan, korban justru dikriminalisasi dengan UU Pornografi. 

Kita belum ngomongin soal trauma korban atau penyintas lho disini. Bagaimana mereka merasa hidupnya menjadi gelap. Pandangan tentang hidup yang berubah drastis. Ketakutan. Trauma yang mungkin tak bisa disembuhkan. Belum. 

Terus kalian masih berani tanya ke korban kenapa mereka nggak berani ngadu? Duh, kurang-kurangin deh. 


____________________________

Sumber:

https://www.thejakartapost.com/life/2018/08/08/more-support-needed-for-rape-victims.html

https://theconversation.com/almost-90-of-sexual-assault-victims-do-not-go-to-police-this-is-how-we-can-achieve-justice-for-survivors-157601

https://asumsi.co/post/kenapa-korban-kekerasan-seksual-enggan-melaporkan-kasusnya

https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/catahu-2020-komnas-perempuan-lembar-fakta-dan-poin-kunci-5-maret-2021

https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/1466.1614933645.pdf

https://www.tribunnews.com/metropolitan/2021/05/15/maling-bobol-sebuah-rumah-di-bekasi-penghuninya-diperkosa-saat-sedang-main-tik-tok

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210521172326-12-645411/selain-perkosa-abg-anak-anggota-dprd-bekasi-juga-jual-korban


You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"