Isu Cyber Intelligence Sharing and Protection Act (CISPA) Terkait Kebebasan Hak Sipil di Amerika Serikat



Seiring dunia yang semakin mengglobal, isu keamanan tidak lagi terkukung pada isu yang bersifat militeristik yang merupakan bagian dari keamanan non-tradisional. Sekarang ini globalisasi mendorong para ilmuwan untuk mencari formulasi baru mengenai cara mengatasi isu-isu keamanan terutama pada isu non-tradisional. Dulu isu keamanan sangat kental dengan bahasan mengenai senjata nuklir, bom, ribuan tentara perang, dan juga mengenai kuantitas dari tentara profesional perang itu sendiri. Sekarang ini dunia semakin mengglobal, teknologi semakin maju, arus informasi tidak dapat dibendung. Isu mengenai keamanan nasional berkembang pesat. Terjadi banyak sekali perubahan, terutama dalam pola penggunaan kekuatan.

Teknologi bukan hanya dapat menjadi salah satu alat yang membantu pemerintah menciptakan negara yang sejahtera, tetapi juga membantu pembentukan kelompok-kelompok teroris, gerakan revolusioner, peningkatan kasus kriminalitas, memperbanyak kelompok rahasia seperti anonymous, dan juga maraknya pengisolasian diri dengan adanya koneksi internet sehingga masyarakat menjadi lebih individualistik[1]. Untuk itu, pemerintah Amerika Serikat dengan cekatan mulai merubah pola penggunaan kekuatan mereka. Setelah tahun 2000 saat internet dapat benar-benar diakses dan digunakan masyarakat luas, membuat arus informasi berjalan tanpa henti yang memberikan berbagai dampak kepada kita. Berkembangnya kelompok-kelompok terorisme radikal sebagai salah satu tindakan penyalah gunaan perkembangan teknologi dan informasi.

Menurut P.W Singer seorang pemerhati hubungan internasional sekaligus pemerhati peperangan masa yang akan datang, menyatakan bahwa dengan adanya dunia yang semakin terhubung secara radikal, membuat politik luar negeri dan keamanan nasional membuat kecenderungan untuk melihat dunia digital semakin sulit sama halnya saat melihat sisi pada perang dingin. Membuat suatu terobosan dengan menggunakan taktik dan metode perang dingin dengan memodifikasinya menjadi cyber detterence menjadi ide yang menarik dan fleksibel, yang diabadikan dengan dibuatnya doktrin ‘equivalence’. Salah satu isu keamanan yang belum tertuju secara jelas adalah mengenai cyber war. Mantan penasihat mengenai anti-terorisme pada masa Clinton dan penasihat cyber security Bush, Richard Clarke, menyatakan keprihatinannya mengenai potensi cyber war dengan China[2]. Oleh karena itu, penulis menganggap masalah RUU mengenai Cyber Intelligence Sharing and Protection Act atau yang sering kita sebut sebagai CISPA penting untuk dibahas.

Dalam makalah ini penulis akan memaparkan sedikit mengenai bagaimana masyarakat dapat memanfaatkan teknologi, telah menjadi suatu ancaman tersendiri bagi pemerintah, seperti yang telah dikatakan oleh Clarke dan Singer. Berbagai hal terutama untuk meminimalisir dampak buruk dari hal tersebut telah dicoba dirumuskan dalam berbagai program dan RUU. Salah satunya adalah RUU CISPA. Banyak sekali sisi yang harus diperhitungkan untuk mempertahankan keamanan nasional Amerika seiring semakin berkembangnya berbagai gerakan sosial yang memanfaatkan media berupa internet. Terlebih berbagai kemajuan tersebut juga dilain sisi membawa dampak yang negatif, yaitu membuat kelompok-kelompok teroris semakin berkembang. seperti kita tahu bahwa Amerika telah menjadi sangat fanatik dengan berbagai gerakan radikal semenjak tragedi 11 September.


Berbagai hal tersebut membuat House of Representative (HoR) membuat suatu RUU mengenai pertukaran informasi antara perusahaan penyedia jasa layanan data dengan pemerintah federal untuk saling berkoordinasi dan bertukar data. RUU tersebut yaitu RUU mengenai Cyber Intelligence Sharing and Protection Act atau yang sering kita sebut sebagai CISPA. RUU tersebut diajukan pada tahun 2013, pada tahun 2012 lalu HoR juga pernah memberikan satu RUU Stop Online Privacy Act (SOPA). Salah satu tujuan dibuatnya kedua RUU tersebut adalah untuk mengatasi cyber crimes secara efektif dengan bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan jasa dengan skala yang besar. Penulis juga akan membahas mengenai apa itu CISPA, dan kritikan terhadap RUU tersebut. Selain itu karena SOPA telah gagal disetujui oleh komite, maka dipaparkan juga mengenai perjalanan CISPA dalam menembus persetujuan komite, dan bagaimana kelanjutan RUU tersebut.


Dewasa ini dunia menjadi semakin mengglobal terutama karena adanya kemajuan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun dalam bidang teknologi dan informasi. Dengan kata lain, disadari atau tidak dunia menjadi semakin cosmopolite. Kita semua dapat terhubung di manapun, dengan siapapun, dan kapanpun hanya melalui sebuah media bernama internet. Fenomena globalisasi ini juga sangat berkaitan erat dengan perubahan pola pengambilan kebijakan suatu pemerintahan, pola pertahanan suatu negara, juga pola pergerakan masyarakat sipil global di sebuah negara.

Jauh sebelum internet ada, gerakan masyarakat sipil sudah terlebih dahulu menunjukkan eksistensinya serta memantapkan perannya dalam pola pengambilan kebijakan, tepatnya sejak abad ke-16[3]. Masyarakat sipil sendiri merupakan sebuah asosiasi yang terpisah dari badan pemerintahan dan juga pasar yang berusaha mengkritisi kebijakan, norma, dan bahkan lebih jauh lagi berusaha untuk merubah struktur sosial[4]. Dulu, mereka bergerak dan menyalurkan aspirasinya melalui media massa berupa koran, pamflet, dan lain sebagainya. Dewasa ini, gerakan tersebut semakin eksis melalui berbagai media massa yang lebih efektif, yaitu internet. Oleh karenanya, gerakan masyarakat sipil ini setiap tahunnya semakin menjamur. Tidak hanya itu, mereka juga semakin memantapkan perannya sebagai preassure group dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

Media dapat menggerakkan masyarakat. Begitu juga masyarakat yang dapat memanfaatkan media massa sebagai sarana penyampai aspirasinya kepada pemerintah. Dalam hal ini, media massa yang kita bahas megerucut pada penggunaan internet sebagai sarana yang dirasa paling efektif pada saat ini. Hal tersebut semakin diperkuat dengan munculnya group-group seperti anonymous yang menggunakan internet sebagai sarana untuk menggerakkan massa yang lebih banyak lagi melalui internet. Mereka adalah kelompok masyarakat sipil yang cukup sukses menggunakan internet sebagai sarana protes-nya. Aksi mereka menutup koneksi internet Korea Utara, dimana aksi mereka tersebut mengganggu komando militer Korea Utara. Hal ini dianggap baik dimata internasional, sekaligus menjadi ancaman yang nyata bagi pemerintah, bukan hanya di Korea Utara. Selain itu mereka juga berhasil menggunakan social media untuk memprotes aksi bunuh diri yang dilakukan para remaja di beberapa komunitas di Amerika Utara[5]. Ada juga Julian Assange pemilik situs wikileaks. Situs tersebut adalah situs yang seringkali membongkar dokumen-dokumen rahasia milik berbagai pemerintah, perusahaan, dan lain sebagainya yang tersebar di dunia.

Hal tersebut membuktikan bahwa gerakan masyarakat sipil dengan menggunakan media internet sangatlah efektif, sekaligus mengingatkan mengenai gambaran bagaimana internet dapat digunakan secara positif, dan bagaimana internet dapat digunakan untuk melakukan aksi teror, dan hal lain yang menganggu kegiatan pemerintahan di suatu negara. Dengan alasan tersebut, maka badan legislatif Amerika, yaitu House of Representative (HoR) meloloskan Rancangan Undang-Undang (bill) Cyber Intelligence Sharing and Protection Act atau yang lebih dikenal sebagai CISPA[6]. Sen Jay Rockfeller sebagai ketua Senat, menyatakan bahwa “saya percaya bahwa saling berbagi (informasi) merupakan kunci utama dari perundang-undangan mengenai cybersecurity...”[7]. Sebelum membahas lebih lanjut, maka sebaiknya kita terlebih dahulu mengenal CISPA.

Apa itu CISPA?

Cyber Intelligence Sharing and Protection Act atau yang lebih dikenal sebagai CISPA, merupakan Rancangan Undang-Undang (Bill) yang memberikan izin kepada penyedia layanan komunikasi untuk memberikan segala aktifitas komunikasi kita berupa e-mail dan pesan lainnya dengan pemerintah, dengan kata lain, perusahaan tempat dimana kita menyimpan data pribadi kita dapat membagikan data pribadi kita dengan pemerintah[8]. Menurut Electronic Frontier Foundation (EFF), dengan adanya CISPA perusahaan penyimpan data akan dengan mudah memberikan dan menyebarkan informasi-informasi pribadi kita kepada pemerintah (sesuai dengan prosedur yang terdapat di point-point pada RUU dengan nomor H.R. 624 yang ditulis oleh Mike Rogers dan Dutch Russperberg), tanpa khawatir akan melukai hak-hak pribadi karena dapat menggunakan sistem cybersecurity sebagai penjamin tindakan mereka, karena hal tersebut akan menjadi hak dan merupakan hak milik mereka[9].

HoR sendiri merancang CISPA sebagai alat untuk mempermudah pemerintah dalam mengurangi dan menindaklanjuti berbagai ancaman dari cyberspace. Hal ini terlebih lagi karena belakangan ini terjadi peningkatan ancaman cyber-security dari Iran dan juga China yang membuat pemerintah harus bertindak cepat untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu pada point ke 5 dalam RUU dengan nomor H.R. 624 yang membahas mengenai Privacy and Civil Liberties dalam sub-poin Policies and prosedure, para sponsor CISPA menyatakan bahwa CISPA dibuat salah satunya adalah untuk memperkecil pengaruh buruk dari hak kebebasan yang dimiliki masyarakat sipil. Oleh karena itu EFF menganggap bahwa CISPA justru akan mempersempit gerakan masyrakat atau yang sering kita sebut grassroot.

Dengan demikian CISPA juga akan bertentangan dengan konten yang terdapat dalam amandemen Bill of Right yang dirancang pemerintah untuk melindungi hak-hak kebebasan dalam berpendapat[10]. Badan legislatif sendiri yaitu Senat dan atau House of Representative membuat Rancangan Undang-Undang mengenai cyber security melalui proses yang panjang. Sebelumnya pada tahun 2012 House of Representative juga mengajukan RUU mengenai Stop Online Privacy Act (SOPA), RUU tersebut kurang lebih memiliki tujuan yang sama dengan CISPA tetapi RUU SOPA tidak disetujui oleh Komite dengan alasan hak kebebasan individu.


Bagaimana Proses Pembuatan RUU CISPA dan Bagaimana Hasilnya?


Dengan adanya SOPA, maka proses pembuatan RUU CISPA menjadi sangat penting untuk ditinjau. Mengingat SOPA dan CISPA memiliki kesamaan pada beberapa sisi. Perbedaannya adalah bahwa SOPA sama sekali tidak didukung oleh perusahaan-perusahaan besar, bahkan ribuan situs mendukung untuk tidak melanjutkan pembocaraan mengenai RUU SOPA. Sedangkan CISPA justru didukung oleh berbagai perusahaan besar yang menyimpan berbagai data dan informasi pribadi kita. Perusahaan-perusahaan tersebut diantaranya adalah AT&T, Verizon, Intel, HP, Time Warner Cable, IBM, Comcast, McAfee, Oracle, Google dan Facebook, yang kesemuanya adalah perusahaan-perusahaan raksasa yang hampir semua masyarakat menggunakan jasa perusahaan tersebut. Oleh karena itu, hanya beberapa ratus website ‘kecil’ yang tidak mendukung RUU CISPA[11]. Maka proses pembuatan RUU CISPA menjadi sangat menarik.

Proses agar suatu RUU dapat masuk ke dalam komite dan memiliki nomor RUU, bukanlah proses yang mudah. Di Amerika, yang berhak membuat suatu Rancangan Undang-Undang adalah anggota House of Representative (HoR) dan Senat. Anggota kongres yang mengajukan Rancangan Undang-Undang mengenai) Cyber Intelligence Sharing and Protection Act (CISPA) adalah anggota HoR yaitu Mike Rogers dan Dutch Russperberg, yang bisa dapat kita sebut sebagai sponsor. Sedangkan anggota HoR atau senat lain yang mendukung dan terlibat dalam pembuatan RUU CISPA dapat kita sebut sebagai co-sponsor. RUU yang sudah disepakati akan legal diperkenalkan setelah memiliki nomor (H.R untuk House Of Representative dan S untuk senat) dan dicetak dalam Congressional Records oleh kantor pemerintah.[12] Dalam hal ini CISPA sudah memiliki nomor dengan seri H.R. yang bernomor 624, yang berarti RUU tersebut dirancang oleh anggota dari House of Representative (HoR). Rancangan Undang-Undang CISPA tersebut memiliki berbagai poin, diantaranya : definisi CISPA, lalu proses koordinasi antara Pemerintah Federal dengan para pendukung cybersecurity, mengenai ancaman keamanan cyber dan pertukaran informasi, sunset, sense of congress on international coorporation, konstruksi peraturan yang berkaitan dengan pengguna data, dan yang terakhir adalah mengenai perjanjian mengenai keamanan untuk menghormati perusahaan penyedia pelayanan data dalam memenuhi kewajibannya memberikan informasi pribadi pengguna data kepada Pemerintah Federal[13].

Dalam RUU tersebut sudah dirancang sistem jaminan keamanan yang diberikan pemerintah kepada pihak yang bersangkutan dalam memberikan informasi atau data, sehingga banyak dari perusahaan-perusahaan besar mendukung adanya CISPA. Terlebih jika sampai Iran mencoba memulai untuk misalnya menyerang Facebook dan Google. Kemudian Departemen Keamanan Negara Federal meminta perusahaan tersebut untuk mencari informasi pribadi mengenai orang yang menyerang kedua perusahaan tersebut. Informasi tersebut dipercaya akan mempermudah dalam mencari tahu sumber dan mengetahui alasan penyerangan tersebut[14]. Namun begitu CISPA tetap saja menjadi RUU yang kontroversial. Terutama karena sifatnya yang dianggap berusaha merebut hak individu.

Perang CISPA dan anti-CISPA berlangsung sejak 3 tahun lalu. Tentu saja perang ini tidak menghabiskan biaya yang sedikit. Perang ini adalah perang antara kepentingan para pebisnis besar dengan hak individu warga negara. Sejak 2011 lalu sampai kuartal 3 pada tahun 2012, para pendukung CISPA telah menghabiskan dana sekitar $605 juta dollar, sedangkan anti-CISPA hanya menghabiskan dana sekitar $4.3 juta dollar saja. Tahun lalu CISPA telah berhasil dibawa ke House of Representative, tetapi berakhir di senat terlebih karena alasan privacy. Pada bulan April 2013 lalu senat menyatakan bahwa mereka tidak akan memberikan suara mengenai issue cyber security, dari sekitar 288 hanya sekitar 127 yang memberikan suara dan mendukung CISPA[15]. Saat CISPA masuk dalam HoR Presiden Barrack Obama mengeluarkan hak veto-nya atas dasar privacy setting. Obama menyatakan bahwa masyarakat harus tahu dan yakin bahwa perusahaan layanan jasa benar-benar menjaga data mereka dengan baik tanpa khawatir data pribadi mereka akan dibocorkan kepada pemerintah federal. Selain itu untuk melakukan hal tersebut juga memerlukan dana yang besar, dan akan memberatkan pengeluaran pemerintah[16].

Kesimpulan


Sejak dulu di Amerika perdebatan mengenai “balancing security and privacy” telah menjadi perdebatan yang tidak kunjung dapat ditemkan jalan keluarnya. Karena itu pemerintah mencoba membuat formulasi “balancing security and privacy” tersebut melalui Rancangan Undang-Undang CISPA. Tetapi formulasi tersebut ternyata masih belum cukup membuat masyarakat percaya bahwa hak-hak mereka akan diberlakukan secara adil, karena berbagai kekurangan dan kerancuan definisi yang terdapat pada Rancangan Undang-Undang H.R. 624.

Sampai saat ini, bahkan saat Obama mengeluarkan hak vetonya dalam RUU CISPA, gerakan tersebut terlihat belum menunjukkan adanya penurunan intensitas dalam menarik massa, mereka masih tetap waspada dan mengawasi apa-apa saja yang sedang senat lakukan terutama dalam isu cyber security. Seharusnya pemerintah dapat memberikan formulasi yang sesuai dengan asas-asas yang terdapat dalam bill of right sehingga dapat terjadi balance dalam penerapan “balancing in privacy and security”. Namun begitu perjalanan untuk menemukan formulasi yang tepat masihlah sangat panjang. Gagalnya SOPA dan CISPA untuk lolos dalam komite merupakan suatu proses check and balance agar kemudian RUU tersebut mungkin nantinya akan dibuat dengan formulasi yang lebih baik, sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak.






SUMBER




Jan Aart Scholte. 1999. “Global Civil Society Changing The World”.
Zinn, Howard. 2005. ‘A People’s History of United States, 1492-Present’.
13th Congress, 1st Session H.R. 624

Sumber 1

Sumber 2

Sumber 3

Sumber 4















You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"