Kosmopolitanisme dan Politik Dunia


Berbeda dengan teori politik lainnya, Kosmopolitan tidak berangkat dari batas-batas juga identitas-identitas yang berarti dalam memandang politik dunia. Kosmopolitan merupakan sebuah paham yang berpandangan bahwa semua manusia di dunia yang berasal dari berbagai grup-grup etnis yang berbeda yang akan membentuk suatu komunitas tunggal dengan suatu kesamaan nilai moral. Selain itu, kosmopolitanisme juga menganggap dirinya bebas nilai dalam men-teorisasikan politik dunia. Kosmopolitanisme juga bisa jadi disebut sebagai sebuah proyek politik, selama kita terus memperhatikan berbagai perubahan-perubahan yang terjadi.

Hal ini membuat kosmopolitan sangat erat kaitannya dengan berbagai perubahan yang terjadi di dunia. Perubahan kontemporer dalam politik dunia tidak dapat dilihat sebagai suatu hal yang tidak dapat digambarkan menurut pandangan para kosmopolis.
Ada tiga hal mendasar yang perlu diperhatikan pada pola perubahan politik dunia: munculnya aktor-aktor baru, meningkatnya ketergantungan dan hubungan, serta tumbuhnya peraturan-peraturan pemerintah global (Heywood, 2011). Perubahan pertama terkait erat dengan aturan dominan serta posisi sebuah negara yang terus meningkat yang diakibatkan oleh persaingan. Selain itu, banyak juga yang percaya dengan kemunculan aktor-aktor baru yang sekarang memegang peran penting dalam percaturan politik dunia seperti Non Government Organization (NGO) dan Transnational Coorporation (TNC), karena pada kenyataannya banyak pekerjaan yang dapat mereka selesaikan yang pemerintah kadang tidak dapat menyelesaikannya, juga terjadi banyak kesepakatan dalam berbagai aspek yang bersifat empiris maupun teoritis dalam percaturan politik dunia yang dilakukan non-state actor, bukan hanya dilihat dari segi kapasitas hubungannya namun juga dilihat dari bagaimana hubungan otoritas mereka dapat mempengaruhi politik dunia.

Perubahan kedua, terkait erat dengan semakin signifikannya transformasi yang terjadi dalam politik dunia hingga menyebabkan kecenderungan semakin meningkatnya ketergantungan dan hubungan antar bangsa. Koahne dan Nye berpendapat bahwa politik dunia telah berubah secara signifikan secara alamiah. Mereka menolak pandangan yang bersifat state centris dengan menunjukkan bahwa sekarang ini aktor-aktor ­non-state sedang menunjukkan kegemilangannya dan membuat suatu ikatan ketergantungan yang kompleks yang mempengaruhi politik dunia. Yang terakhir adalah bahwa pertumbuhan terhadap kecenderungan pemerintah global juga dipercaya sebagai suatu kekuatan yang mendorong perubahan dalam politik dunia, dan secara alamiah merubah tata cara berpolitik antar bangsa yang semula bersifat anarki menjadi lebih demokratis.

Para pendukung konsep global governance berpendapat bahwa global governance merupakan hubungan yang terpola dan dapat diprediksi, dengan partisipasi yang lebih luas dari para aktor yang saling berhubungan dengan jelas dan bukan hanya sekedar hirarki. Disisi lain mereka juga menyatakan bahwa politik dunia yang kontemporer adalah sebuah dunia dimana ada “pemerintahan tanpa pemerintah” (Rosenau & Czempiel 1992).
Perubahan juga sangat serat kaitannya dengan globalisasi. Globalisasi berarti “ The retreat of states” (Strange, 1996). Hal ini terkait erat dengan gagasan mengenai ketergantungan dan globalisasi, sosiolog Urich Beck menyebut hal tersebut sebagai “risk society”. Gagasan tersebut melihat keadaan dimana sekarang manusia memiliki kecenderungan bersifat individualistis. Kondisi ini ditunjukkan dengan karakter yang semakin mengglobal serta memandang sebagai suatu hal yang biasa ketika manusia sebagai makhluk yang tidak memperhatikan secara keseluruhan identitas mereka dan hubungan maupun asosiasi politik maupun sosialnya.

Hal-hal tersebut diatas tentu saja membuat para pelajar hubungan internasional tidak berdaya dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan global. Meskipun begitu, hal tersebut menjadi sebuah tantangan bagi para pelajar hubungan internasional untuk menemukan berbagai paradigm baru dan memakai berbagai paradigm dalam kesibukannya mencari serta meneliti berbagai isu-isu global yang tengah terjadi sehingga selalu dapat menyesuaikan diri. Dengan demikian teori kosmopolitan menjadi sebuah wadah dimana para ilmuwan studi hubungan internasional mentranskripsikan berbagai perubahan yang ada. Tetapi pada kenyataannya kosmopolitanisme bukan hanya sekedar teori hubungan internasional, lebih jauh lagi, teori politis dari hubungan internasional merupakan suatu yang meliputi berbagai dimensi, baik moral, politik, dan normatif, yang dipelihara untuk di sia-siakan demi kepentingan “ilmiah”.

Kosmopolitan bukan merupakan hal yang baru, telah ada sejak peradaman yunani dan romawi. Banyak perdebatan yang terjadi saat menanggapi teori ini, oleh karena itu sekarang ini kita mengenal berbagai jenis kosmopolitan. Kleinged dan Brown (2011), keduanya merupakan ilmuwan yang membuat suatu taksonomi yang rapi untuk menjelaskan kosmopolitan. Kosmopolitan saat ini mencakup berbagai aspek, mulai dari aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, juga moral. Taksonomi yang dubuat tidaklah secara langsung dan secara rigid menjelaskan perbedaan atau pemisahan berbagai jenis kosmopolitan tersebut. Jenis-jenis kosmopolitan memberikan gambaran yang jelas kepada kita mengenai bagaimana kosmopolitan telah tersebar ke berbagai aspek yang ada dalam keseharian kita. Mereka juga mengingatkan kita tentang bagaimana kita melihat kosmopolitan. Yang melihat kosmopolitan dari sisi negatif akan menganggap bahwa kosmopolitan telah membuat seseorang menjadi tidak loyal terhadap negara dan bangsanya. Menurut mereka kosmopolitan memiliki konotasi yang negative dan sangat menentang para pendukung nasionalisme dan patriotisme pada masa pemerintahan Hitler dan Stalin. Tetapi seiring berjalannya waktu, kesan negatif yang melekat pada paradigm kosmopolitan berangsur luntur, dan mendapat respon yang lebih positif. Sekarang ini, kosmopolitan berarti keterbukaan pemikiran, toleransi, juga rasa empati diantara manusia. Tetapi kosmopolis tetap menjadi musuh bagi para pemimpin yang totaliter dan fasis.

Meskipun gagasan mengenai kosmopolitan dapat ditemui dimana saja dalam berbagai bentuk dari berbagai manifestasi, ada dua bentuk kosmopolitan yang dianggap paling berpengaruh dalam percaturan politik dunia, yaitu : budaya dan politik (Hannerz, 2006). Kosmopolitan budaya berarti bahwa berbagai jenis orang dari berbagai suku harus diperlakukan dengan sama. Ini berarti adanya sikap menerima perbedaan, toleransi, tidak bersifat diskriminatif, juga melihat orang lain seperti halnya orang yang telah berjasa untuk hidupnya. Sedangkan kosmopolitan politik berarti proyek politik. Kosmopolitan merupakan kritik dan transformasi dari filosofi politik. Manifestasi dari gagasan tersebut adalah dengan melihat bentuk dari norma-norma serta institusi-institusi internasional yang kritis terhadap institusi modern yaitu negara dan kekuasaan absolut. Tidak diragukan lagi, kosmopolitan sebagai suatu “isme” yang baru memuat berbagai jenis nilai dan orientasi moral, yang merupakan jalan yang membimbing individu dalam interaksinya dengan individu lain (Scheffler 2001, 122). Namun kosmopolitan juga menegaskan bahwa mereka melihat “human as a single category”, hal ini tentu saja bertentangan dengan cara pandang mereka yang sebelumnya menyatakan menekankan pada persamaan derajat. Maka, bagaimanapun kosmopolitan tidak dapat diinterpretasikan sebagai pendukung partikularisme dan parokialisme. Karena paham partikularisme menolak posisi individu dimana dia dipandang sebagai bagian dari “a part of single category of human being”.

Kosmopolitan dalam hubungan internasional dianggap sangat penting untuk dipelajari, karena kosmopolitan sendiri seperti yang telah dipaparkan diatas sangat mempengaruhi politik dunia, terutama pada abad 20, sekarang, dan tidak diragukan lagi akan mempengaruhi masa depan juga. Gagasan dari kosmopolitanisme direfleksikan pada piagam PBB yang memberikan hak asasi manusia sebuah keunggulan tersendiri karena gagasan ini merupakan “right of self-determination” (Aboulafia, 2010). Kekuasaan dalam kosmopolitan lebih ddimengerti sebagai hak dan responsibilitas (Evans, 2006, 709). Konsep “responsibility to protect” juga digunakan dalam World Summit tahun 2005 lalu.

Meskipun begitu ternyata kosmopolitan belum dianggap sebuah teori yang benar-benar berpengaruh oleh sebagian ilmuwan hubungan internasional. Karena bertentangan dengan asumsi dasar yang dianut yaitu memahami dunia dengan anggapan dunia itu terdiri dan disusun dari keberadaan negara-bangsa. Namun, ada dua karakter yang memiliki kekuatan dan pengaruh terhadap hubungan internasional, yang bagaimanapun seringkali dikritisi dan dilupakan oleh para ilmuwan yaitu teori politik global dan proyek politik.

Bagaimanapun kosmopolitan dapat membuat ilmu hubungan internasional membuat para pelajar ilmu hubungan internasional tidak hanya mempelajari berbagai hal yang bersifat teoritis yang kadangkala tidak dapat diinterpretasikan dalam realitas sosial yang ada. Kosmopolitan membuat para pelajar ilmu hubungan internasional dapat mengobservasi berbagai isu dan perubahan yang ada dan membuat mereka terjun langsung dalam suatu realitas sosial dengan menginterpretasikan berbagai teori yang telah mereka dapat dalam hal keamanan, kesejahteraan, dan keadilan bagi umat manusia.

Daftar Pustaka:

Utama:
Sugiono, Muhadi. 2012. “Cosmopolitanism and World Politics: Bringin the Global World to International Relations”, Global and Strategies, Juli-Desember, 6 (2): 217-230.

Pendukung:

Staff Universitas Gajah Mada, 2003. “Ide-Ide Kosmopolitanisme” [on-line]. Dalam http://www.diahkei.staff.ugm.ac./file/ide-ide/kosmopolitanisme.ppt// [di akses pada 25 Maret 2013].

Web Unair, 2012. “Kosmopolitanisme : Sebuah Filisofi” [on-line]. Dalam http://giovanni-d-a-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-48231-Umum-Kosmopolitanisme%20:%20Sebuah%20Filosofi%20%20.html [ di akses pada 25 Maret 2013].

You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"