BERHENTI ADALAH PILIHAN RASIONAL, TAPI KENAPA SELALU BERAT DAN MENYAKITKAN?

Berhenti adalah pilihan rasional, tapi berat dan menyakitkan
Berhenti adalah pilihan rasional, tapi kenapa selalu berat dan menyakitkan.

What you allow is what will continue - Maria V. Salusso


Pernah nggak terjebak dalam suatu kondisi dimana kamu ingin berhenti, tapi berhenti atau menyerah nggak pernah jadi opsi yang baik dalam hidup. Entah kenapa. 

Waktu belajar tentang manajemen pengambilan kebijakan, Dosen pengampu mata kuliah tersebut mengatakan, 

"Dalam mengevaluasi kebijakan, ada beberapa pilihan yang dapat kita ambil berdasarkan hasill evaluasi. Apakah hasil evaluasi menunjukkan ada yang perlu dibenahi, sudah sempurna, atau perlu waktu karena adanya time lag antara penerapan kebijakan dan efeknya. Jadi kita bisa memutuskan untuk merubah beberapa hal, status quo, melanjutkan kebijakan, atau berhenti sepenuhnya."

Jeda selalu bertanya-tanya, kenapa evaluasi semacam itu sulit untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal setiap hari kita selalu mengambil keputusan dan rata-rata penting, karena memiliki pengaruh terhadap kehidupan kita, walau mungkin hanya untuk jangka pendek.

Tapi mungkin karena evaluasi dalam manajemen kebijakan itu terukur, punya seperangkat indikator, dirumuskan oleh berbagai orang dengan beragam latar belakang dan kepentingan, yang membuat hasil evaluasi dan keputusan yang ditetapkan setelahnya paling tidak lebih terukur, objektif, dan rasional daripada saat kita berpikir dan memutuskan untuk membeli kebab dibandingkan membeli pecel lele, atau saat memutuskan untuk bekerja dibanding melanjutkan pendidikan.

Bahkanpun kita coba mengukur setiap keputusan yang kita ambil dalam hidup, Jeda rasa apapun hasilnya akan menyisakan pertanyaan, "Apakah ini yang terbaik untuk saat ini? jikapun Iya, apakah keputusan ini juga keputusan yang sama menghasilkan hal baik pada 10 atau 20 tahun mendatang."

Yang jelas, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun saat mengambil kebijakan untuk sesuatu yang lebih besar, berhenti sepertinya pilihan yang paling jarang diambil. Kita akan mati-matian berjalan, berdarah-darah untuk mempertahakan status quo, berharap ada solusi atas masalah yang kita hadapi, sampai satu titik, beberapa dari kita terpaksa menerima bahwa kita tidak memiliki pilihan lain kecuali berhenti dan membuka jalan baru. 

Berhenti adalah pilihan yang rasional, tapi kenapa selalu berat dan menyakitkan. 

Jika kalian pernah terjebak pada situasi seperti ini, saat itu apa yang akan kalian lakukan? Jeda benar-benar butuh saran dan masukan. Terima kasih. 

You Might Also Like

8 komentar

  1. rehat sejenak untuk berkontemplasi dan mengevaluasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo, Pak. Terima kasih sudah membaca curhatan saya dan memberi masukan. It means alot to me.

      Delete
  2. Berhenti untuk rehat dari semua kaadaan yang terlalu berat untuk di lalui, sejenak mengintrospeksi diri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Pak, masukannya, sudah saya jalankan.

      Alhamdulillah kondisi saya sudah sedikit membaik sekarang.

      Delete
  3. Serius, ini sedang saya alami saat ini. Bingung, antara harus melangkah maju, berdarah-darah seperti yang mbak katakan, atau terpaksa berhenti. Kadang lelah jadi manusia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai,
      Emang bingung bedain "signal" suruh berhenti atau itu cuma ujian supaya kita berusaha lebih keras. Setelah berusaha tapi sudah ga bisa maju lagi, Saya akhirnya memutuskan buat mundur beberapa langkah biar bisa cari opsi jalan lain. Semoga kamu juga bisa menemukan jalan keluar atas masalahmu ya.

      Semangat.

      Delete
    2. Tiap nyari solusi, dihalang lagi, terus begitu aja.
      Aamiin mbak. Terima kasih.

      Delete
    3. Sama-sama. :')

      Yang terbaik untuk kita ya. Aamiin.

      Delete

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"