Globalisasi dan Kemiskinan

GLOBALISASI DAN KEMISKINAN

Tadjuddin Noer Effendi

Globalisasi merupakan proses terintegrasinya ekonomi dunia kedalam satu pasar global, disertai adanya ekspansi pasar (barang dan jasa) yang mempengaruhi dan berimplikasi pada tiap sendi kehidupan dunia melalui pengembangan teknologi yang secara efektif mengendalikan sumberdaya local dan mendukung penuh kemudi bisnis. Banyak peneliti yang menuturkan bahwa proses ini akan mengurangi kemiskinan dan kesenjangan social sebagai dampak baiknya, dilain sisi banyak negara yang takut akan adanya proses integrasi ini. Banyak negara berkembang yang khawatir akibat ketidaksiapan juga berbagai keterbelakangan diberbagai bidang, hingga dikhawatirkan proses integrasi hanya akan menguntungkan para pemilik modal. Di Indonesia khususnya, Indonesia mengalami kesenjangan dan kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup signifikan. Pada tahun 1997 jumlah penduduk yang masuk garis kemiskinan sekitar 12 juta dan meningkat menjadi 80 juta di pertengahan 1998. Maka, proses integrasi cenderung memiliki makna ganda.

Proses integrasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Globalisasi” ini telah banyak didiskusikan. Bagaimana globalisasi dapat menimbulkan efek yang berbeda bagi setiap negara diberbagai belahan dunia telah menjadi topic yang sangat populer di kalangan ilmuwan dan akademisi. Globalisasi sendiri bukanlah merupakan hal yang baru. Dipercaya, implikasinya telah ada sejak  abad ke 19. Ketika mulai adanya proses perdagangan yang dilakukan oleh bangsa eropa menuju asia menggunakan kapal-kapal laut.

Seperti yang telah disebutkan diatas, proses intergrasi atau globalisasi ini dianggap cenderung menguntungkan negara maju atau para pemilik modal, sedangka negara berkembang cenderung dirugikan, tetapi mereka tidak dapat mengelak dari hal itu. Dengan demikian, Negara- negara bukan hanya negara berkembang (yang dilansir mengalami kerugian akibat adanya proses integrasi) tapi juga negara maju terjebak dalam satu system global yang sangat kompleks. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana negara maju seperti Amerika-pun tidak dapat mengelak dari  satu system pasar modern (kapitalis). Namun begitu, harapan akan berkurangnya kemiskinan serta kesenjangan social tidaklah pudar.  Setiap negara memiliki kesempatan untuk menaikkan range ekonomi negaranya dalam pasar dunia.

Proses integrasi dari masa ke masa bukan hanya memiliki implikasi yang berbeda, tetapi juga memiliki proses, cakupan, kecepatan penguasaan pasar, bagaimana cara memperoleh resource (pendekatan), serta memiliki proses transaksi yang berbeda pula. Hal ini diakibatkan oleh kemajuan teknologi yang kian berkembang dari masa ke masa. kita dapat membandingkan proses-proses integrasi ini dengan membandingkan proses globalisasi pada abad ke-19 dengan proses globalisasi abad ke-21. Perbedaan proses integrasi pada abad 19 dan 21 yang terdapat di Indonesia, sebagai berikut;

  1. pendekatan yang dilakukan pada abad 19 adalah dengan menggunakan pendekatan fisik, sedangkan pada abad 21 adalah dengan menggunakan instrument politik, sosial, dan teknologi.

  2. cakupan pada proses integrasi antar negara pada abad 19 tidaklah luas, cenderung hanya antara negara penjajah dengan negara jajahannya, sedangkan pada abad 21 relative lebih luas, tergantung kepentingan negara tersebut.

  3. cara bertransaksi-pun cenderung lebih sulit pada abad 19 karena sistem ekonomi negara kecil cenderung  terblokade dengan baik oleh suatu negara kuat, hingga banyak pengusaha pribumi yang tidak dapat berintegrasi dengan bebas sesuai dengan kepentingannya.

Focus jurnal kali ini adalah bagaimana implikasi globalisasi bagi negara Indonesia. Sejak kedatangan bangsa Eropa yang dengan cepat dapat menaklukkan bangsa Asia khususnya Indonesia. Integrasi negara dalam kerjasama ekonomi sangat dapat dirasakan, hanya saja masa itu integrasi yang terjalin lebih condong kepada “pencurian” bukan lagi kerjasama untuk memajukan perekonomian bersama. Di Indonesia, yang terjadi ketika belanda menjajah negeri ini adalah, untuk mempertahankan dan memperbesar keuntungan perdagangan Blenada mulai membuka dengan lebar peluang inverstasi di negara ini melalui penyewaan lahan jangka panjang. Pada akhirnya banyak negara Eropa yang tertarik untuk menginvestasikan hartanya di Indonesia seperti Jerman, Swiss, dan Belgia yang menanamkan modalnya dalam sector pertambangan (minyak dan timah) juga dalam sector perkebunan. Menurut Hall (1988;732) perekonomian Indonesia pada saat itu sepenuhnya dikuasai oleh colonial Belanda dan pengusaha asing, sedangkan kegiatan ekonomi pribumi dibatasi dan dipinggirkan dengan menggunakan beberapa peraturan yang membatasi wilayah arena perdagangan. Selain itu adanya control harga dan monopoli pasar menyebabkan keadaan makin kacau. Hal inilah yang membuat masyarakat local tidak memiliki ruang gerak serta keterbatasan peluang untuk dapat terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi.

Pada tahun 1930, liberalisasi ekonomi menyebabkan krisis. Banyak pengusaha Eropa yang mengalami kerugian. Akibatnya permintaan barang mentah ke Indonesia menurun, belum lagi banyak perusahaan yang gulung tikar menyebabkan meningkatnya angka pengangguran. Hal ini tentu saja merupakan pukulan bagi rakyat pribumi yang banyak menggantungkan hidupnya pada Eropa. Saat itu rakyat pribumi banyak yang mengalami kelaparan akibat pemerintah colonial Belanda mengurangi anggaran untuk membeli persediaan bahan pangan demi memulihkan ekonomi Eropa. Keuntungan para pengusaha asing pun tidak lagi dirasakan oleh rakyat pribumi, karena digunakan untuk pembangunan ekonomi Eropa.

Meskipun proses integrasi pada saat itu sangatlah traumatis, namun globalisasi bukanlah sesuatu yang dapat dihindari. Pada abad ke-21 ini untuk terus dapat mempertahankan laju ekonomi, dibuatlah peraturan yang lebih ringan dan lunak mengenai penanaman modal di Indonesia. Hal ini tidak sepenuhnya juga berdampak baik. Karena hal ini tetap menjadikan pengusaha pribumi banyak yang gulung tikar. Ditambah dengan kemajuan teknologi yang makin menjadi dan ternyata berdampak banyak bagi kelangsungan  industry dalam negeri.

Perkembangan teknologi yang sangat signifikan berjalan beriringan dengan laju globalisasi. Hal ini nyatanya dapat merubah gaya hidup bangsa Indonesia, hingga produk-produk asli dalam negeri cenderung dianggap tidak modern dan tidak sesuai dengan kemajuan jaman. Sebaliknya, hal ini tentu saja membawa dampak baik bagi investor asing, karena kecenderungan masyarakat Indonesia yang memiliki sifat konsumtif dan cenderung mudah dirangkul untuk merubah gaya hidup dan membeli berbagai produk luar. Dampak yang dihasilkan adalah, bahwa sector ekonomi di Indonesia secara makro meningkat drastic, hingga kerap disebut sebagai The Asian Miracle. Tetapi secara mikro, ekonomi dalam negeri dianggap gagal, karena masih banyak pengusaha pribumi yang gulung tikar, diperkirakan pada tahun 1969-1970 jumlah industry tekstil tradisional sekitar 324.000 perusahaan. Pada tahun 1976-1977 hanya tersisa sekitar 60.000 perusahaan.

Perubahan paling penting adalah diperluasnya peran pasar keuangan dunia. Proses transaksi mata uang semakin cepat, dan tentu saja ini berimplikasi pada ketidakstabilan mata uang. Ketika mata uang suatu negara tidak stabi, maka rakyat Indonesia dalam hal ini tentu saja terlunta-lunta, penghasilan mereka cenderung mengalami fluktuasi, tergantung nilai tukar mata uang. Belum lagi banyaknya pekerja asing yang datang ke Indonesia dan menempati kedudukan-kedudukan tinggi sebagai seorang professional, membuat rakyat pribumi sulit untuk bersaing. Krisis ekonomi menimbulkan dampak pada timbulnya krisis lain seperti krisis politik dan social. Hal ini disebabkan tak ada lagi kepercayaan terhadap pemerintah hingga menimbulkan kerusuhan. Pergeseran ini menimbulkan dua implikasi, yaitu;  

  1.  Angka pengangguran terbuka meningkat karena banyak pekerja di sector industry, konstruksi,     perdagangan, dan jasa terpaksa keluar dan berusaha mencari kerja di sector lain,

  2. Angka setengah pengangguran meningkat karena sebagian dari mereka masuk ke sector informal yang sebagian besar dikelola oleh keluarga.


Ini berarti semakin banyak pengangguran terselubung yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dari, jam kerja sector informal cenderung tidak menentu, dan upah yang diberikanpun sangatlah tidak sesuai dan kecil. Menurut Tadjuddin sendiri, diperlukan suatu gerakan untuk memunculkan kesadaran kritis bahwa globalisasi sangat mungkin untuk menimbulkan implikasi negative bagi kehidupan mereka, juga melakukan suatu gerakan penyadaran melalui pemberian informasi agar masyarakat tidak berlaku konsumtif, juga agar masyarakat dapat paham dan dapat melakukan tindakan yang bijak dalam menghadapi globalisasi. Maka, liberalisasi politik diperlukan untuk mengimbangi globalisasi dan ekspansi pasar.


You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"