Menjinakkan Komersialisasi dan Komoditas Pendidikan



Dewasa ini seperti yang sudah kita ketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya komersialisasi pendidikan di Indonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya dijadikan jasa yang dapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas utama yang dapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi. Rakyat seperti biasa hanya bisa meronta atas ketidak adilan yang sebetulnya sedikit demi sedikit tumbuh menjadi budaya baru. Entah bagaimana, ketika “bola api” itu datang semua pihak akan menerimanya dengan tangan yang terbuka dan ketika “bola” itu menyerang mereka maka dianggap sebuah ketidak adilan. Diluar daripada itu dana APBN untuk pendidikan mendapat kritik pedas dari masyarakat luas. Dana APBN sebesar 20% dianggap mampu untuk menutupi biaya pendidikan generasi bangsa.
Melihat realitas yang terjadi dinegri kita tercinta, saya cukup terenyuh, dan merasa betapa ironis pertumbuhan pendidikan di Indonesia berkembang jauh lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan korupsi.  Salah satu bentuk kegagalan pemikiran pemerintah saya rasa, ketika pendidikan seolah-olah menjadi komoditas utama yang penuh dengan pencapaian yang mudah, tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan realitas yang ada. Pada dasarnya pemerintah seharusnya mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk dari system yang telah mereka buat.
Sebagai contoh adalah Ujian nasional. Ujian nasional merupakan salah satu system yang dibuat dengan maksud dan tujuan yang sangat baik. Pemerintah bertutur seolah tidak ada celah dalam system tersebut untuk menaikkan standar pendidikan yang ada. Yang harus kita garis bawahi adalah betapa pemerintah sangat tidak memperhatikan standarisasi yang mereka buat sudah menjadi momok yang menakutkan bagi generasi muda juga bagi para pengajar. Ujian nasional sebagaimana kita tahu, bisa jadi sebuah ketidak adilan tersendiri yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan dunia pendidikan kita.
Dari system standarisasi berupa Ujian nasional diatas saya sangat ingin meng-korelasikan standarisasi terhadap status sekolah yang mereka buat. Bukan berarti sistim “standarisasi” ini tidak baik, hanya saja standarisasi terhadap sekolah dengan title : sekolah bertaraf internasional, sekolah bertaraf nasional, atau bahkan sekolah reguler, menyebabkan beberapa dampak negative yang tentu saja saya rasa sudah menjadi rahasia umum sebagai pembohongan public. Secara sadar maupun tidak standarisasi pada sekolah telah menumbuh suburkan korupsi dibidang pendidikan. Saya mengatakan hal tersebut sebagai kebohongan public, bukanlah tidak beralasan. Untuk memperjelas pernyataan saya diatas, saya akan menuliskan betapa hal ini menjadi ironi disemua kalangan yang telah dibutakan oleh sebuah “title”. Betapa “title” dapat membuat seorang buruh merasa bangga jika anaknya bersekolah di sekolah yang menyandang title bertaraf internasional, meskipun mereka harus bekerja jauh lebih keras bahkan mungkin berhutang.
Dari pernyataan itu saya yakin anda dapat menyimpulkan bahwa komersialisasi telah mengakar didunia pendidikan dan betapa “sekolah gratis” menjadi sebuah anomali di dunia pendidikan itu sendiri. Belum lagi sekolah bertaraf juga ternyata sama halnya dengan sekolah reguler lainnya. Yang ingin saya garis bawahi adalah, pola pikir masyarakat dewasa ini merucut menjadi “semakin mahal sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan ditempat tersebut”. Apakah hal ini dapat dibenarkan?, tentu saja tidak. Sudah menjadi rahasia umum hal ini berkaitan erat dengan ujian nasional maupun kualitas pengajar. Korelasi antara standarisasi sekolah dengan standarisasi per-individu (ujian nasional) adalah, ketika standarisasi itu mengukung para pendidik dan juga para siswa dengan ketakutan luar biasa terhadap apa yang akan diterimanya ketika gagal dalam ujian nasional tersebut. Hal ini bisa jadi membawa dampak positif,  hanya saja yang terjadi adalah kecurangan dan budaya korupsi secara tidak langsung dimasukkan dalam kurikulum dan dipraktikkan ketika ujian nasional itu berlangsung. Parahnya lagi hasil dari ujian nasional menjadi tolak ukur standarisasi yang lebih besar yaitu standarisasi sekolah. Apakah kualitas tenaga pendidik dan terdidiknya baik?, tentu sebagai orang yang cinta akan hukum kerelativitasan saya akan menolak dengan keras pernyataan tersebut. Pada kenyataannya kualitas siswa dan pengajar pada sekolah ber-title terkadang tidak sebaik title yang disandangnya.
Sekolah bertitle seringkali dijadikan alasan untuk merogoh pundi-pundi uang dari kantong para nasabah (para orang tua siswa) tanpa perlu bersusah payah meminta dan tanpa perlu mendapat protes keras. Betapapun pemerintahh telah memberi tunjangan, standar akan tetap dijadikan alasan tanda ketidak mampuan pemerintah mengelola APBN oleh para pengajar. Entah karena memang dengan alasan yang baik, ataukah karena memang anggaran tersebut telah bocor sebelum sampai pada tempat yang tepat. Yang perlu diketahui adalah, banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Saya harap pemerintah dapat lebih peka terhadap hal ini, sehingga tidak ada lagi miss dalam menjalankan sistim yang ada. Sebagai suatu kesatuan tentulah pemerintah menjadi sosok orang tua dalam menjalankan suatu Negara. Betapapun yang terjadi sekarang ini pendidikan karakter terhadap anak bangsa haruslah ditanamkan sejak dini, bukan ketika mereka sudah dewasa. Dalam hal ini juga kesadaran guru terhadap tanggung jawab yang dipikulnya sangatlah penting. Betapa tidak, ketika seorang guru menganggap remeh tugas mengajar maka terbengkalai pulalah sedikitnya 40 tunas bangsa oleh hanya satu pengajar. Belum lagi sertifikasi guru dewasa ini prosesnya dianggap terlalu mudah dan tidak sebanding dengan kemampuan mengajarnya. Ada baiknya pemerintah menghilangkan standarisasi karena dianggap banyak merugikan. Penolakan terhadap sistim standarisasi pemerintah saat ini tidak lagi setajam dulu, hal ini bukan karena sistim ini berjalan dengan baik, namun kecurangan pada penerapannya sudah dianggap biasa sehingga hal itu tidak lagi menjadi momok yang menakutkan dengan cara yang salah.

You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"