Menjinakkan Komersialisasi dan Komoditas Pendidikan
- February 16, 2012
- By jendela eva
- 0 Comments
Dewasa ini seperti yang
sudah kita ketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah makin maraknya
komersialisasi pendidikan di Indonesia, belum lagi pendidikan yang seyogyanya
dijadikan jasa yang dapat dinikmati setiap orang seolah-olah menjadi komoditas
utama yang dapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi. Rakyat seperti biasa
hanya bisa meronta atas ketidak adilan yang sebetulnya sedikit demi sedikit
tumbuh menjadi budaya baru. Entah bagaimana, ketika “bola api” itu datang semua
pihak akan menerimanya dengan tangan yang terbuka dan ketika “bola” itu
menyerang mereka maka dianggap sebuah ketidak adilan. Diluar daripada itu dana
APBN untuk pendidikan mendapat kritik pedas dari masyarakat luas. Dana APBN
sebesar 20% dianggap mampu untuk menutupi biaya pendidikan generasi bangsa.
Melihat realitas yang
terjadi dinegri kita tercinta, saya cukup terenyuh,
dan merasa betapa ironis pertumbuhan pendidikan di Indonesia berkembang jauh
lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan korupsi. Salah satu bentuk kegagalan pemikiran
pemerintah saya rasa, ketika pendidikan seolah-olah menjadi komoditas utama
yang penuh dengan pencapaian yang mudah, tentu hal ini sangat bertolak belakang
dengan realitas yang ada. Pada dasarnya pemerintah seharusnya mempersiapkan
diri terhadap kemungkinan terburuk dari system yang telah mereka buat.
Sebagai contoh adalah Ujian
nasional. Ujian nasional merupakan salah satu system yang dibuat dengan maksud
dan tujuan yang sangat baik. Pemerintah bertutur seolah tidak ada celah dalam system
tersebut untuk menaikkan standar pendidikan yang ada. Yang harus kita garis
bawahi adalah betapa pemerintah sangat tidak memperhatikan standarisasi yang
mereka buat sudah menjadi momok yang menakutkan bagi generasi muda juga bagi
para pengajar. Ujian nasional sebagaimana kita tahu, bisa jadi sebuah ketidak
adilan tersendiri yang membawa dampak cukup besar bagi perkembangan dunia
pendidikan kita.
Dari system standarisasi
berupa Ujian nasional diatas saya sangat ingin meng-korelasikan standarisasi
terhadap status sekolah yang mereka buat. Bukan berarti sistim “standarisasi”
ini tidak baik, hanya saja standarisasi terhadap sekolah dengan title : sekolah
bertaraf internasional, sekolah bertaraf nasional, atau bahkan sekolah reguler,
menyebabkan beberapa dampak negative yang tentu saja saya rasa sudah menjadi rahasia
umum sebagai pembohongan public.
Secara sadar maupun tidak standarisasi pada sekolah telah menumbuh suburkan
korupsi dibidang pendidikan. Saya mengatakan hal tersebut sebagai kebohongan public,
bukanlah tidak beralasan. Untuk memperjelas pernyataan saya diatas, saya akan
menuliskan betapa hal ini menjadi ironi disemua kalangan yang telah dibutakan
oleh sebuah “title”. Betapa “title” dapat membuat seorang buruh merasa bangga
jika anaknya bersekolah di sekolah yang menyandang title bertaraf
internasional, meskipun mereka harus bekerja jauh lebih keras bahkan mungkin
berhutang.
Dari pernyataan itu
saya yakin anda dapat menyimpulkan bahwa komersialisasi telah mengakar didunia
pendidikan dan betapa “sekolah gratis” menjadi sebuah anomali di dunia pendidikan itu sendiri. Belum lagi sekolah
bertaraf juga ternyata sama halnya dengan sekolah reguler lainnya. Yang ingin
saya garis bawahi adalah, pola pikir masyarakat dewasa ini merucut menjadi “semakin
mahal sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan ditempat tersebut”. Apakah hal
ini dapat dibenarkan?, tentu saja tidak. Sudah menjadi rahasia umum hal ini berkaitan
erat dengan ujian nasional maupun kualitas pengajar. Korelasi antara
standarisasi sekolah dengan standarisasi per-individu (ujian nasional) adalah,
ketika standarisasi itu mengukung
para pendidik dan juga para siswa dengan ketakutan luar biasa terhadap apa yang
akan diterimanya ketika gagal dalam ujian nasional tersebut. Hal ini bisa jadi
membawa dampak positif, hanya saja yang terjadi adalah kecurangan
dan budaya korupsi secara tidak langsung dimasukkan dalam kurikulum dan
dipraktikkan ketika ujian nasional itu berlangsung. Parahnya lagi hasil dari
ujian nasional menjadi tolak ukur standarisasi yang lebih besar yaitu
standarisasi sekolah. Apakah kualitas tenaga pendidik dan terdidiknya baik?,
tentu sebagai orang yang cinta akan hukum kerelativitasan saya akan menolak
dengan keras pernyataan tersebut. Pada kenyataannya kualitas siswa dan pengajar
pada sekolah ber-title terkadang tidak sebaik title yang disandangnya.
Sekolah bertitle
seringkali dijadikan alasan untuk merogoh pundi-pundi uang dari kantong para nasabah
(para orang tua siswa) tanpa perlu
bersusah payah meminta dan tanpa perlu mendapat protes keras. Betapapun pemerintahh
telah memberi tunjangan, standar akan tetap dijadikan alasan tanda ketidak
mampuan pemerintah mengelola APBN oleh para pengajar. Entah karena memang
dengan alasan yang baik, ataukah karena memang anggaran tersebut telah bocor sebelum sampai pada tempat yang
tepat. Yang perlu diketahui adalah, banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia
pendidikan sebagai salah satu tonggak utama usaha mereka dengan membuka
yayasan-yayasan pendidikan tentu saja dengan tujuan “mendapatkan keuntungan”
bukan lagi “mencerdaskan kehidupan bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Saya harap pemerintah
dapat lebih peka terhadap hal ini, sehingga tidak ada lagi miss dalam menjalankan sistim yang ada. Sebagai suatu kesatuan
tentulah pemerintah menjadi sosok orang tua dalam menjalankan suatu Negara.
Betapapun yang terjadi sekarang ini pendidikan karakter terhadap anak bangsa
haruslah ditanamkan sejak dini, bukan ketika mereka sudah dewasa. Dalam hal ini
juga kesadaran guru terhadap tanggung jawab yang dipikulnya sangatlah penting. Betapa
tidak, ketika seorang guru menganggap remeh tugas mengajar maka terbengkalai
pulalah sedikitnya 40 tunas bangsa oleh hanya satu pengajar. Belum lagi
sertifikasi guru dewasa ini prosesnya dianggap terlalu mudah dan tidak
sebanding dengan kemampuan mengajarnya. Ada baiknya pemerintah menghilangkan
standarisasi karena dianggap banyak merugikan. Penolakan terhadap sistim
standarisasi pemerintah saat ini tidak lagi setajam dulu, hal ini bukan karena
sistim ini berjalan dengan baik, namun kecurangan pada penerapannya sudah
dianggap biasa sehingga hal itu tidak lagi menjadi momok yang menakutkan dengan
cara yang salah.
0 komentar
semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"