pendekatan politik (kekuasaan)


KEKUASAAN

Salah satu konsep politik adalah kekuasaan.Konsep sendiri adalah konstruksi mental,suat ide abstrak yang menunjukan pada beberapa fenomena atau karakteristik dengan sifat yang spesifik yang dimiliki oleh fenomena itu.Politik sering kali memperebutkan, mempertahankan, mencari serta menukarkan barang dan jasa. Bagi deutchs ada delapan hal yang dianggap sangat bernilai,yakni:
A.    Power  (Kekuasaan)
Kekuasaan merupakan  hal paling langka dalam kehidupan manusia.Kekuasaan adalah kemampuan untuk merubah sikap,orientasi dan perilaku orang lain. Perumusan yang umumnya dikenal ialah kekuasaan adalah kemampuan seorang pelaku untuk mempengaruhi perilaku seorang pelaku lain,hingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang memiliki kekuasaan.
B.         Wealth (Kekayaan)
            Kekayaan sering kali menjadi salah satu tolak ukur untuk menilai status seseorang.
C.         Health (Kesehatan)
            Merupakan salah satu alih fungsi sosial negara dalam masyarakat.
D.        Deference ( Kehormatan)
            Negara kita mengenal starta-strata sosial yang telah diperkenalkan kepada bangsa Indonesia sejak berkembangnya Kerajaan-kerajaan Hindu di nusantara.Tidak dapat dipungkiri sampai sekarang hal ini masih melekat dalam diri bangsa Indonesia. Orang yang memiliki strata sosial yang diangggap tinggi maka dialah yang akan mendapat kehormatan tertingggi pula,hal ini menjadikan kehormatan menjadi elemen politik yang penting.
E.         Elightment (Pencerahan)
            Pencerahan lebih menyangkut pada masalah-masalah sosial.
F.         Rectitude (Masalah Moral dan Keagamaan)
G.        Security and Order (Masalah Keamanan dan Ketertiban)
H.        Freedom (Kebebasan)
Sedangkan menurut Harold Laswell dan Robert Dahl politik lebih berorientasi pada kekuasaan.Kekuasaan hidup dalam kehidupan manusia setiap hari.Kekuasaan dapat mengadakan sanksi dan pengaruh.Pengaruh dan kekuasaan sebenarnya merupakan konsep yang berbeda,Floyd Hunter (1953) berpendapat : “Kekuasaan merupakan pengertian pokok,dan pengaruh merupakan bentuk khususnya”. Namun Laswell dan Kaplan menganggap pengaruh sebagai konsep pokok dan,kekuasaan sebagai bentuk khas pengaruh.
Politik dapat dipahami melalui dua prespektif, yakni liberal dan seni. Dalam prespektif liberal, substansi politik adalah nilai otoritatif, yakni: bagaimana jabatan, kekayaan, dan pengaruh yang melekat pada diri seseorang atau sekelompok orang didistribusikan kepada yang lain.Sedangkan dalam prespektif seni,politik menyangkut kemampuan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
Kekuasaan memang selalu menjadi perhatian utama para elit politik. Untuk  mendapat kekuasaan, tidak hanya harta benda yang dikorbankan bahkan kehormatan yang layak jualpun terkadang dijual untuk mendapatkan kekuasaan. Betapa besar pengaruh seseorang yang memiliki kekuasaan, contoh paling nyata yang bisa kita lihat adalah Soeharto. Soeharto mendapatkan kekuasaan melalui kudeta,dan ketika berada dan memiliki tahta kekuasaan tertinggi dia melakukan apa-apa yang dia inginkan, bersifat diktator tetapi hal itu adalah benar pada masanya karna dia yang memiliki kekuasaan tertinggi. Dia dapat mengubah dan membuat peraturan sesuai kebutuhannya.
Harus diakui bahwa lengsernya rezim Soeharto telah membuka peluang bagi aktor-aktor politik internal maupun eksternal orba untuk memperebutkannya. Pasca Soeharto ruang interaksi antara dengan kekuasaan kelompok reformasi dalam menentukan berbagai agenda perubahan politik, termasuk didalamnya adalah kelanjutan kekuasaan pasca jatuhnya pemerintahan otoriter meluas terjadi, pada awalnya tingkat nasional sampai akhirnya rezim-rezim penguasa ditingkat lokalpun jatuh.
Kekuasaan memiliki kekuatan yang sangat besar dalam mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang. Karena kekuasaan memiliki super power, kekuasaan menjadi barang langka yang paling diperebutkan. Masing-masing orang dalam persaingan perebutan kekuasaan memiliki kepentingan politik yang berbeda. Tajamnya kepentingan politik,mengakibatkan konflik antar kekuatan politik maupun intra kekuatan politik,hal ini sering kali menyebabkan terjadinya perebutan jabatan-jabatan politik. Jika kita memiliki jabatan politik maka kita akan memiliki kekuatan serta kekuasaan terbesar pula. Dewasa ini, kekuasaan politik yang diperebutkan adalah kekuasaan politik ditingkat lokal, hal ini merupakan salah satu dampak dari adanya otonomi daerah, serta sistim pemerintahan yang bersifat bottom-up.
Sistem pemerintahan yang membiarkan daerahnya memipin dan bebas dalam mengatur daerahnya sendiri ini memang solusi yang baik,tetapi tidak dipungkiri hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan makin terlihat nyata hidup dalam masyarakat. Bukan hanya itu sistem buttom-up juga menyuburkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini bisa jadi disebabkan banyaknya masyarakat yang tidak dapat menilai dengan baik para elit politik, hal ini dijadikan alat para elit politik untuk menggunakan kekuasaan semaksimal mungkin untuk diri dan kelompoknya sendiri.
Kekuasaan memberikan masyarakat ruang untuk memperebutkan politik lokal, nasional, maupun internasional. Sekarang ini politik ditingkat lokal telah memberikan ruang baru bagi demokratisasi didaerah, meskipun sering kali disertai oleh tingkat kekerasan dan konflik yang tak mungkin dapat dihindari.Politikokal memberikan kesempatan pada rakyat politisi untuk berpolitik.Politik lokal mengizinkan masyarakat untuk belajar mengenal adanya ancaman kekuasaan, menghindari memilih penguasa yang tidak kompeten, serta belajar untuk berdebat mengenai isu-isu secara efektif. Juga mengaitkan pengeluaran dan pendapatan,dan bahkan untuk berfikir kritis tentang hari esok.
Adanya politik lokal serta pemerintah daerah adalah bukti konkret dari harapan  bahwa pemerintah serta politik lokal tersebut dapat menjadi penyedia pelayanan publik yang efisien. Asumsinya adalah, the less remote and manageable a state Authority is,the more responsive it is to what people demand. Hal ini karena pemerintah daerah adalah orang yang paling dekat dengan daerah dan dianggap memahami keadaan daerah tersebut,sehingga jika kekuasaannya digunakan dengan maksimal untuk kepentingan rakyat diharapkan pemerintah tidak hanya dapat menjadi penyedia pelayanan masyarakat tetapi juga memahami dan mengetahui apa yang dituntut serta diperlukan oleh masyarakat daerahnya.
Tapi bagi kaum marxist transformasi masyarakat merupakan urusan nasional dan bukan politik lokal.Karenanya politik lokal hanya dilihat sebagai faktor sekunder.Sebagai ganti dari konsep pemerintah daerah Cockburn dan Cornelis Lay mengintrodusir istilah ‘localstate’ (negara lokal). Localstate bukan sebagai pemerintah, tetapi sebagai kekuasaan konsumsi bersama. Maka menurut Cockburn peran mendasar dari localstate adalah ‘continuallytoreproducetheconditionwithinwhichcapitalaccumulationcantakeplace’.
Logikanya pada tingkat localstate ini merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Maka makin tidak jelas perbedaan antara nationalstate dengan localstate. Kaum marxist tak begitu tertarik oleh adanya desentralisasi, hal ini karena cara pandang mereka yang bersifat determinisme dan mereka juga cenderung mengidentifikasikan sentralisasi dengan promosi kepemilikan publik dan equality.
Konteks di Indonesia sendiri, Pemerintah daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat sangat nyata pada orde baru. Pada masa orde baru semuanya serba sentralistis. Sedangkan pemerintah daerah boleh dikatakan hanya sebagai ‘budak’ pemerintah pusat yang senantiasa mengamankan amanat pusat.
Dewasa ini, sistem kekuasaan di Indonesia sejak lengsernya Soeharto telah berubah, pemerintah mengadakan otonomi daerah. Jadi, otonomi daerah adalah kebijakan yang diberikan pemerintah pusat kepada daerah untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Otonomi daerah merupakan upaya memasksimalkan  hasil yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah.
Pada kenyataannya, otonomi daerah berjalan dengan baik, dibeberapa daerah masyarakat politisi menjadi lebih ambisius dan agresif dalam pertarungan merebut kekuasaan daerah masing-masing. Untuk memiliki kekuasaan sekarang ini masyarakat cenderung mengorbankan segala hal. Hal ini menyebabkan sistem politik kita makin terlihat penuh sesak dengan tuntutan materiil. Sistem seperti ini memperkuat asumsi bahwa berpolitik membutuhkan banyak ‘uang’. Bahkan kekuasaan dewasa ini seakan-akan menjadi barang jual-beli dengan segala ke-abstrakan-nya.
Konteks lokal merupakan salah satu faktor terjadinya konflik kekuasaan. Ini dapat dilihat dari konteks hubungan kultur dengan politik, hubungan organisasi masa dengan masalah politik, “ideologi politik” dimasing-masing daerah dan arah kecenderungan afiasinya serta perilakunya, demografi politik dan lain sebagainya. Konteks lokal dianggap penting pengaruhnya dalam sirkulasi kekuasaan, baik dalam bentuk dukungan politik maupun sikap politik masyarakatnya serta kepentingan-kepentingan kelompok yang dominan dalam konteks lokal seperti itu. Seorang pemimpin dalam mencapai kekuasaan sering kali menggunakan makna-makna simbolik kebudayaan, etnisitas, dan lain-lain. Hubungan timbal-balik politik sering kali membuat massa menjadi lebih militan dan mudah dimobilisasi serta memberikan dukungan penuh kepada elitnya dalam proses perjuangan politik.
Dalam persaingan perebutan kekuasaan, massa merupakan aspek terpenting, Amitha Ezioni membagi masyarakat massa politik menjadi 3,yaitu:
a)      Massa moral,yaitu massa yang potensial terikat secara politik pada suat orsospol karena loyalitas normatif yang dimilikinya,cenderung kurang atau tidak ritis terhadap krisis-krisis empirik.
b)      Massa kalkulatif,yaitu massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli terhadap krisis-krisis empirik yang dihadapi masyarakatnya.
c)      Massa alienatif.
Peran massa dewasa ini sering kali dimanipulasi untuk tujuan-tujuan tertentu berdasarkann kepentingan elitnya. Tak jarang mereka juga memiliki motif, kepentingan, dan tujuan yang berbeda. Bagaimanapun karakteristik konfliknya, pasti ada keinginan untuk saling ber-integrasi untuk dapat menyelesaikan konflik. Oleh karena itu sistem politik demokrasi dapat digunakan sebagai salah satu upaya penyelesaian konflik. Sistem politik  yang menerapkan pembagian kekuasaan, mengidealkan Keputusan politik bila terjadi suatu akan mengarah ada berbagai tipe kompromi dan koalisi politik untuk mengakhiri pertentangan dengan mekanisme pembagian kekuasaan.Bgaimana pembagian dan pendistribusian kekuasaan itu dijalankan, apakah dengan pendekatan koalisi atau kompromi.








Daftar Pustaka:
            Dhurodudin,Heru,Irene,Kurniawati,syafuan dan Ratnawati,Tri, konflik antar elit politik lokal, (Jakarta: Pustaka Media, 2005).
            Jimung, Martin, Politik Lokal dan PemerintahDaerah dalam Prespektif Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusantara, 2005)
            Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007)
            Widjadja,HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, (Palembang: Rajawali Pers, 2001)

You Might Also Like

0 komentar

semoga bermanfaat
mohon kritik dan saran yang membangun ya :D
"sharing is caring"